Sebelum Meninggal, Ibu Mertua “Mewariskan Rumah” Pada Adik Ipar, Aku Pula Hanya Diberi “Mesin Jahit Lama” Aku dan suami tinggal di desa, suamiku punya satu adik perempuan. Ibu mertua lebih condong ke adik suamiku.
Sementara itu, adik ipar adalah sosok orang yang ego, suka memperhitungkan untung rugi.
Aku dan dia tidak akrab, dan jarang atau boleh dikata hampir tidak pernah berkomunikasi
Tidak lama setelah dia menikah, adik iparku tinggal secara terpisah, secara permukaan memang tampak tinggal terpisah, tapi ibu mertua tetap saja ke tempat adik ipar membuat masakan.
lain itu, adik iparku suka mengambil barang-barang ibu mertuaku untuk diberikan pada saudara iparnya.
Adik ipar suka berlaku semena-mena dan keras, ibu mertua juga tampaknya agak segan dengannya.
Ibu mertua juga hanya mau membantu pekerjaan adik iparku.
Saat masa nifas, dingin rasanya hati ini ketika ibu mertua bilang tidak sempat merawat saya karena harus membantu menjaga anak adik iparku.
Sikapku sendiri terhadap ibu mertua juga biasa-biasa saja, tidak terbilang baik juga tidak buruk.
Entah bagaimana aku melewati hari-hari yang menyesakkan dada itu, tiba-tiba saja sekarang anak kami sudah duduk di sekolah dasar, selama itu, ibu mertua tidak pernah membelikan sepotong pakaian pun untuk anakku.
Deda halnya dengan anak adik ipar, ibu mertua selalu memberinya uang jajan setiap beberapa hari, ia selalu mengatakan anak perempuan saya selalu membuli cucunya.
Tapi biarlah putriku juga tidak perlukan beberapa keping wang saku itu.
Belakangan ibu mertua jatuh sakit, dan aku pikir adik ipar akan merawatnya kerana dia (ibu mertua) biasanya lebih condong ke dia.
Tapi tak disangka, adik iparku tidak peduli sama sekali, dan tidak menjenguknya.
Akhirnya akulah yang merawat ibu mertua sampai waktunya dipanggil Tuhan.
Sebelum meninggal, ibu mertua meninggalkan wasiat, dalam wasiatnya ia menyerahkan rumah yang dihuninya itu untuk adik iparku, sementara aku hanya diberi sebuah mesin jahit lama.
Menjelang mau pun (meninggal) tetap saja masih condong ke adik ipar.
Dengan sombongnya adik ipar pun pergi setelah menerima surat-surat rumah.
Sementara dada ini terasa sesak setap hari melihat mesin jahit usang itu.
Suatu hari, baju anakku robek, aku pun hendak menjahitnya dengan mesin jahit itu.
Saat membuka laci mesin jahit, aku melihat ada sebuah kotak bungkusan, kemudian aku membukanya dan melihat sebuah buku tabungan dan secarik kertas dengan tulisan yang berbunyi :
“Menantu, buku tabungan ini untuk kamu, kerana takut diketahui/diprotes adik iparmu, jadi ibu sengaja menyimpannya di dalam laci mesin jahit tua ini”.
Ketika kubuka buku tabungan itu tercetak angka 200 ribu yuan atau sekitar 392 juta rupiah dan seketika aku pun tak dapat menahan diri daripada menangis.
Wang itu adalah tabungan seumur hidup ibu mertua, ternyata ibu mertua juga secara diam-diam peduli dan perhatian padaku.
Sejak kematian ibu mertua, aku pun tidak lagi berhubungan dengan adik iparku.
Berkat usahaku dan suami ditambah dengan tabungan ibu mertua, aku pun membeli sebuah rumah sederhana di kota, dan siap pindah ke rumahku-istanaku itu.
Sebelum pindah aku berpesan pada suami agar membawa mesin jahit itu.
Di kota kami juga membuka sebuah kedai makanan sederhana, dan usahanya juga lumayan.
Sejak pindah ke kota, kami juga jarang pulang ke kampung.
Hanya saja sempat mendengar kabar tentang adik iparku yang katanya telah menghabiskan wang hasil penjualan rumah pemberian ibu mertua dulu, dan suaminya lagi-lagi menggugat cerai padanya.
Wahai para insan dunia, hal sekecil apa pun yang kamu lakukan itu tak lepas dari pandangan Yang Maha Kuasa.
Ingatlah! Setiap perbuatan kita itu pasti akan ada karmanya, hanya waktu yang akan membuktikannya.
Source: beautieslife